ARCHAPADA.CO.NR - Menu







Baca artikel yang laen yah di samping ...Makasih sebelum nya

Artikel Tentang Hukum Internasional
1.Reservasi Suatu Perjanjian
By: Tenne Ganuvan Sinaga
Sumber: Buku I Wayan (Hukum
Perjanjian Internasional, Bagian I)


Suatu negara berdaulat yang turut serta di dalam suatu perjanjian internasional diharapkan dapat menyetujui seluruh isi pasal perjanjian, sehingga perjanjian itu dapat mengikat secara utuh dan menyeluruh kepada setiap negara yang menyatakan terikat pada perjanjian tersebut. Dengan demikian, pelaksanaan perjanjian itu akan menjadi utuh karena semua pihak sudah terikat pada isi perjanjian itu tanpa kecuali.

Namun, pada kenyataannya sangat sulit bagi setiap negara yang ingin ikut dalam suatu perjanjian menerima secara utuh pasal-pasal di dalam perjanjian tersebut, walaupun perjanjian itu merupakan kesepakatan dari utusannya yang turut berunding dalam merumuskan perjanjian itu. Bagi negara yang ingin tetap turut serta pada suatu perjanjian tetapi tidak setuju pada ketentuan tertentu di dalam perjanjian itu, dapat mengajukan suatu pensyaratan.

Pensyaratan (RESERVASI),Pasal 2(1d) Konvensi Wina 1969, adalah suatu pernyataan sepihak, dengan bentuk dan nama apapun, yang dibuat oleh suatu negara, ketika menandatangani, meratifikasi, mengakseptasi, menyetujui, atau mengaksesi atas suatu perjanjian internasional, yang maksudnya untuk mengesampingkan atau mengubah akibat hukum dari ketentuan tertentu dari perjanjian itu dalam penerapannya terhadap negara yang bersangkutan.

Kalau reservasi merupakan pernyataan sepihak, berarti tidak perlu adanya persetujuan negara-negara peserta suatu perjanjian internasional yang ingin direservasi

apapun bentuk dan nama dari pensyaratan itu.. nama lain dari pensyaratan yaitu deklarasi, understand/ing, notes, dan reservasi. Di dalam Konvensi Wina '69, yang disebutkan secara tegas sebagai nama lain dari pensyaratan hanyalah reservasi, sehingga yang mempunyai akibat hukum hanyalah reservasi. Maksudnya adalah bila ada suatu perjanjian lalu suatu negara ingin mereservasi, contohlah Indonesia ingin mereservasi terhadap pasal 2 ICCPR, lalu timbul akibat hukumnya bagi Indonesia, dalam hal ini berupa "tanggapan" anggota-anggota peserta lain. Bagi yang setuju terhadap reservasi yg diajukan Indonesia, maka tidak ada yang berkomentar, dan akibat hukum yang berlaku bagi Indonesia bila reservasi itu diterima adalah pasal 2 ICCPR yang baru direservasi. Tetapi bagi yang tidak setuju, akan membuat pernyataan tidak setuju, dan akibat hukum yang berlaku adalah tetap Pasal 2 yang lama sebelum reservasi diajukan. (Kalau menurut para ahli hukum, apa pun namanya, itu tetap merupakan pensyaratan). Bila negara2 peserta lain tidak menyatakan sikap atas reservasi yang diajukan Indonesia tersebut, hal itu dianggap bahwa negara2 itu menerima reservasi Indonesia.

Walaupun reservasi merupakan hak suatu negara, ada pembatasan yang harus diperhatikan oleh suatu negara dalam mengajukan reservasi..,yaitu: (lihat Psl.19 Konvensi Wina '69)
persyaratan itu dilarang oleh perjanjian internasional
perjanjian itu menentukan, bahwa hanya pensyaratan yang khusus, yang tidak termasuk di dalam pensyaratan yang merupakan masalah, yang dapat diajukan, Bila ada negara yang mereservasi pasal tertentu yang secara tegas dinyatakan tidak boleh direservasi, maka reservasinya dianggap tidak pernah ada dan tidak akan pernah berlaku

dalam hal-hal yang tidak termasuk di dalam nomor 1 dan 2 pensyaratan itu ternyata tidak sesuai dengan objek dan tujuan dari perjanjian. --- bila pensyaratan dalam hal ini tetap diajukan, ditakutkan akan menghambat usaha-usaha negara peserta untuk mencapai maksud dan tujuan perjanjian itu sendiri, dan akhirnya akan merugikan negara peserta perjanjian itu sendiri.

Kalau ada suatu negara menyatakan penolakan terhadap Hak asasi manusia yang bersifat non-derogable rights, dan ia mereservasi pasal yang berkaitan dengan HAM tersebut, maka reservasi itu tidak boleh diajukan dan tidak boleh diterima karena hal itu bertentangan dengan maksud dan tujuan perjanjian. Jurisprudensi yang dikeluarkan oleh Mahkamah HAM di Amerika Selatan (terhadap pembatasan reservasi yang ke-3 ini), hakim menyatakan bahwa "apabila suatu negara menyatakan reservasi yang tujuannya adalah memungkinkan negara tersebut untuk menunda setiap hak-hak asasi manusia yang bersifat non-derogable rights di dalam konvensi negara-negara Amerika mengenai HAM, maka reservasi tersebut harus dianggap sebagai incompentible (tidak sesuai/bertentangan) dengan maksud dan tujuan dari American Convention of Human Right".

selain itu, masih ada satu pembatasan lagi, yaitu reservasi tidak boleh diajukan terhadap ketentuan perjanjian yang mengandung "jus cogens". Jus cogens sebagai kaidah hukum yang sifat mengikatnya sangat kuat dan imperatif, jelas tidak boleh dikesampingkan oleh kaidah hukum yang sifat mengikatnya lebih lemah, apalagi oleh suatu tindakan sepihak yang sangat subjektif seperti pensyaratan.

Lalu bagaimana bila di dalam suatu perjanjian internasional tidak dinyatakan secara tegas bahwa suatu negara boleh mereservasi dan tidak dinyatakan secara tegas pula di dalamnya bahwa suatu negara tidak boleh mereservasi perjanjian tersebut. Apakah apabila ada negara yang ingin ikut serta pada perjanjian tersebut tetapi dengan mengajukan reservasi, apa diperbolehkan??

Untuk hal tersebut di atas, bagi negara tersebut diperbolehkan untuk ikut serta dalam perjanjian dan untuk mengajukan reservasi. Kembali lagi bahwa reservasi itu merupakan hak, jadi setiap negara berhak untuk menggunakannya, asalkan reservasi yang diajukan tersebut tidak bertentangan dengan 3 pembatasan yang telah disebut di atas. Advisory opinion yang dikeluarkan oelh ICJ menyatakan bahwa di dalam hal tersebut di atas, suatu negara tetap boleh mengajukan reservasi dengan tetap berpegang teguh pada ketentuan pasal 19 Konvensi Wina 1969.

Dapatkah suatu negara yang sudah mengajukan reservasi, kemudian menarik kembali reservasi tersebut? Kecuali jika perjanjian itu menentukan sebaliknya, suatu pensyaratan dapat ditarik kembali setiap waktu, dan penarikan kembali itu tidak membutuhkan persetujuan dari negara yang sebelumnya telah menerimanya. (pasal 22 (1) KW'69).

Begitu pula dengan penolakan negara2 peserta perjanjian terhadap reservasi yang diajukan suatu negara, penolakan tersebut dapat ditarik kembali setiap waktu. (Pasal 22 (2) KW'69).
 
2.Pengertian Prinsip Ex aequo et bono
Prinsip ex aequo et bono adalah jika dalam penyelesaian kasus yang telah diajukan dalam Mahkmah Internasional oleh pihak yang bersengketa tidak dapat diselesaikan melalui sumber hukum yang telah termaktub->sumber hukum internasional primer ataupun subsider (kasusnya rumit dan belum pernah terjadi sebelumnya) maka, sesuai dengan ketentuan Pasal 38 Keputusan Mahkamah Internasional maka hakim boleh mengabaikan sumber hukum yang ada dengan memutuskan berdasarkan pada rasa keadilan secara pantas berdasarkan hati nurani para hakim di Mahkamah Internasional. Dan hal tersebut berlaku sah.
 
3.Perdamaian Westphalia
    Perdamaian Westphalia dianggap sebagai peristiwa penting dalam sejarah Hukum Internasional modern, bahkan dianggap sebagai suatu peristiwa Hukum Internasional modern yang didasarkan atas negara-negara nasional. Sebabnya adalah :


(1) Selain mengakhiri perang 30 tahun, Perjanjian Westphalia telah meneguhkan perubahan dalam peta bumi politik yang telah terjadi karena perang itu di Eropa

(2) Perjanjian perdamaian mengakhiri untuk selama-lamanya usaha Kaisar Romawi yang suci.

(3) Hubungan antara negara-negara dilepaskan dari persoalan hubungan kegerejaan dan didasarkan atas kepentingan nasional negara itu masing-masing.

(4) Kemerdekaan negara Nederland, Swiss dan negara-negara kecil di Jerman diakui dalam Perjanjian Westphalia.

Perjanjian Westphalia meletakan dasar bagi susunan masyarakat Internasional yang baru, baik mengenai bentuknya yaitu didasarkan atas negara-negara nasional (tidak lagi didasarkan atas kerajaan-kerajaan) maupun mengenai hakekat negara itu dan pemerintahannya yakni pemisahan kekuasaan negara dan pemerintahan dari pengaruh gereja.

Ciri masyarakat Internasional yang terdapat di Eropa yang dasarnya diletakkan oleh Perjanjian Westphalia. Ciri-ciri pokok yang membedakan organisasi susunan masyarakat Internasional yang baru ini dari susunan masyarakat Kristen Eropa pada zaman abad pertengahan :
(1) Negara merupakan satuan teritorial yang berdaulat.
(2) Hubungan nasional yang satu dengan yang lainnya didasarkan atas kemerdekaan dan persamaan derajat.

(3) Masyarakat negara-negara tidak mengakui kekuasaan di atas mereka seperti seorang kaisar pada zaman abad pertengahan dan Paus sebagai Kepala Gereja.

(4) Hubungan antara negara-negara berdasarkan atas hukum yang banyak mengambil oper pengertian lembaga Hukum Perdata, Hukum Romawi.

(5) Negara mengakui adanya Hukum Internasional sebagai hukum yang mengatur hubungan antar negara tetapi menekankan peranan yang besar yang dimainkan negara dalam kepatuhan terhadap hukum ini.

(6) Tidak adanya Mahkamah (Internasional) dan kekuatan polisi internasional untuk memaksakan ditaatinya ketentuan hukum Internasional.

(7) Anggapan terhadap perang yang dengan lunturnya segi-segi keagamaan beralih dari anggapan mengenai doktrin bellum justum (ajaran perang suci) kearah ajaran yang menganggap perang sebagai salah satu cara penggunaan kekerasan.

Dasar-dasar yang diletakkan dalam Perjanjian Westphalia diperteguh dalam Perjanjian Utrech yang penting artinya dilihat dari sudut politik Internasional, karena menerima asas keseimbangan kekuatan sebagai asas politik internsional.

Hugo Grotius mendasarkan sistem hukum Internasionalnya atas berlakunya hukum alam. Hukum alam telah dilepaskannya dari pengaruh keagamaan dan kegerejaan. Banyak didasarkan atas praktek negara dan perjanjian negara sebagai sumber Hukum Internasional disamping hukum alam yang diilhami oleh akal manusia, sehingga disebut Bapak Hukum Internasional.

Selain Hugo Grotius ada pula Sarjana yang menulis Hukum Internasional: - Fransisco Vittoria (biarawan Dominikan – berkebangsaan Spanyol Abad XIV menulis buku Relectio de Indis mengenai hubungan Spanyol dan Portugis dengan orang Indian di AS. Bahwa negara dalam tingkah lakunya tidak bisa bertindak sekehendak hatinya. Maka hukum bangsa-bangsa ia namakan ius intergentes. - Fransisco Suarez (Yesuit) menulis De legibius ae Deo legislatore (on laws and God as legislator) mengemukakan adanya suatu hukum atau kaedah obyektif yang harus dituruti oleh negara-negara dalam hubungan antara mereka. - Balthazer Ayala (1548-1584) dan Alberico Gentilis mendasarkan ajaran mereka atas falsafah keagamaan atau tidak ada pemisahan antara hukum, etika dan teologi.
 
 
4.Konvensi Montevideo 1933
Pasal 1 Konvensi Montevideo 1933 mengenai Hak-Hak dan Kewajiban-Kewajiban Negara (yang ditangani oleh Amerika Serikat dan Negara Amerika Latin) merupakan karakteristik-karakteristik berikut ini:

“Negara sebagai hukum internasional harus memiliki syarat-syarat berikut: (1) penduduk tetap, (2) wilayah tertentu (3) Pemerintah , dan (4) kemampuan untuk melakukan hubungan dengan negara-negara lainnya”.

Mengenai syarat (2), Suatu wilayah tertentu bukan merupakan hal yang esensial untuk adanya negara dengan ketentuan bahwa terdapat pengakuan mengenai apa yang dikarakteristikan sebagai “ketetapan” (consistency) dari wilayah terkait dan penduduknya,  meskipun dalam kenyataannya semua negara modern berada dalam batas–batas teritorial. Demikian pula, perubahan-perubahan yang terjadi, baik menambah atau mengurangi luasnya wilayah negara tertentu, tidak dengan sendirinya mengubah identitas negara tersebut. Wilayah tersebut juga tidak perlu merupakan kesatuan geografis; suatu negara mungkin terdiri dari b
eberapa wilayah tertorial, yang kurang berhubungan atau bahkan saling berjauhan satu sama lain.

Dari segi Hukum Internasional, syarat (4) merupakan syarat yang paling penting. Suatu negara harus memiliki kemampuan untuk menyelenggarakan hubungan-hubungan eksternal dengan negara-negara lain. Hal inilah yang membedakan negara dalam arti yang sesungguhnya dari unit-unit yang lebih kecil seperti anggota-anggota suatu federasi, atau protektorat-protektorat, yang tidak mengurus hubungan-hubungan luar negerinya sendiri, dan tidak diakui oleh negara-negara yang lain sebagai anggota masyarakat internasional yang sepenuhnya mandiri.
Today, there have been 2 visitors (109 hits) on this page!
This website was created for free with Own-Free-Website.com. Would you also like to have your own website?
Sign up for free